Pembahasan
Ihya Ulumuddin berasal dari kegelisahan seorang ulama Hujjatul Islam yakni al-Imam Abu Hamid al-Ghazali, betapa tidak sebab ilmu agama (ulumuddin) pada waktu itu tidak lebih dari “baju usang” yang telah banyak ditinggalkan oleh orang-orang, kebanyakan dari mereka lebih memilih tergila-gila oleh kecantikan ilmu positif, filsafat dan kalam yang berasal dari luar Islam. Yang pada masa itu oleh para penguasa melakukan import ilmu dari luar islam sehingga lambat laun, tanpa sadar, kepekaan umat terhadap ilmu islam mulai memudar, kepercayaan diri mereka menurun drastis, harga diri mereka telah hilang, dan dibayar mahal dengan gengsi yang tinggi akan ilmu-ilmu yang dibawa dari luar itu dan menganggap bahwa mempelajari ilmu agama yang dibawa oleh Nabi saw merupakan yang “memalukan”, tidak bermanfaat bahkan dianggap menghalang-halangi kemajuan peradaban manusia, karena terlalu jauh dengan kenyataan kehidupan umat manusia sebenarnya.
Pengarang dari kitab ini adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Beliau lahir di di kota Thuss dalam wilayah Khurasan, Iran.[1] Pada tahun 450 H/1058 M. Beliau adalah seorang tokoh pemikir islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam), ”Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudra yang menghanyutkan” (Bahrun Mughriq) dan lain-lain.
Kitab Ihya’ Ulumuddin merupakan salah satu karya fenomenal yang menjadi inti sari dari seluruh karya Imam Al-Ghazali. Secara bahasa Ihya’ Ulumuddin berarti menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Sebagaimana judulnya kitab ini berisi tentang ilmu-ilmu agama yang akan menuntut umat Islam, tidak berorintasi pada kehidupan dunia belaka, akan tetapi kehidupan akhirat yang lebih utama[2]
Awal mula al-Ghazali menulis kitab ini ketika ia mulai menjadi rektor di Universitas Nizamiyah. Disini beliau dipenuhi pengaruh yang mengarah pada materialis. Tak butuh yang lama pengaruh itu mulai masuk pada dirinya, karena kemudian timbul gejolak pada batinnya, pergolakan dan pertentangan antara “ilmu dan amal”. Gejolak dalam batinnya ini yang membuat dirinya jatuh sakit, hingga para dokter mengatakan tak bisa mengobati sakitnya Selama waktu penyembuhan dirinya dipenuhi keraguan akan perkerjaannya hingga akhirnya keluar pada tahun 488 M dan pergi ke Damaskus. disana dia menghabiskan sekitar dua tahun merenung, membaca dan menulis tentang tasawuf sebagai cara hidup. Maka ia berusaha menyembuhkan penyakitnya dengan kekuatan jiwanya sendiri. Diobatinya penyakit itu dengan melindungkan dirinya kepada Allah, mohon bantuan dan pertolongannya agar disembuhkannya, dan agar penyakit itu lepas dari dirinya. Akhirnya berkat anugrah Allah, sakitnya menjadi sembuh, bahkan ia mendapat ilham dan petunjuk dari-nya.[3]
Selama hampir dua tahun, Al-Ghazali menjadi hamba Allah dan mampu mengendalikan hawa nafsunya. Dia menghabiskan waktunya untuk berdoa, beribadah, dan ittikaf di sebuah masjid di Damaskus. Setelah terus berdzikir sepanjang waktu dan terus bertaqarrub kepada Allah. Kemudian Al-Ghazali pindah ke Baitul maqdis, disana dirinya selalu merenung, membaca dan menulis karya, puncaknya adalah kitab “Ihya’ Ulumuddin”. Selanjutnya, kitab itu disusun pada waktu ketika umat Islam sedang teledor terhadap ilmu agama, yaitu setelah Al-Ghazali kembali dari rasa keragu-raguan dengan tujuan utama untuk menghidupkan kembali ilmu agama. Hal ini karena Ketika itu, umat islam acuh terhadap ilmu-ilmu Islam dan mereka lebih asyik dengan filsafat barat. Oleh karena itu, Al-Ghazali tergerak untuk membersihkan hati umat dari kesesatan.
Kitab Ihya Ulumudin (اØÙŠØ§Ø© العلوم الدين) berisi tentang aturan dan prinsip dalam penyucian jiwa: seruan kesucian jiwa dalam agama, sifat takwa, konsep zuhud, cinta sejati, menjaga hati dan jiwa, Selalu menanamkan keikhlasan dalam beragama. Isi lain dari buku ini antara lain perlunya mencari ilmu, pentingnya ilmu, bahayanya tidak memiliki ilmu, penjagaan thaharah dan Salat, Al-Qur'an, Dzikir, penanganan shalat, penerapan moralitas agama, dll. menangani masalah dasar dari Umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, hakikat persaudaraan, tuntunan untuk meningkatkan akhlak, cara-cara mengendalikan hawa nafsu, bahaya lisan, pencegahan iri hati dan emosi, zuhud, pendidikan syukur dan kesabaran, Penghindaran Kesombongan, Dorongan untuk Selalu Bertaubat Pentingnya Kedudukan Tauhid, Pentingnya Niat dan Kejujuran, Konsep Kedekatan dengan Allah (Muraqaba), Perenungan, Mengingat Kematian dan Rahmat Allah, Mencintai Rasulullah.
Pembahasannya dibagi menjadi empat bab dan masing-masing dibagi lagi menjadi 10 pasal.[4] Yaitu: pada bab pertama: tentang Ibadah (rubu’ al – ibadah). Bab kedua: tentang adat istiadat (rubu’ al – adat). Bab ketiga: tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu’ al – muhlikat). Sedangkan bab yang keempat: tentang maqamat dan ahwal (rubu’ al – munjiyat). Namun yang menjadi isi pokok pada kitab tersebut adalah ikhlas dengan tauhid Allah dan Ikhlas menjalankan tauhid Allah. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia, tasawuf kemudian menjadi salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam.[5]
· Rubu ibadat merupakan pembahasan mengenai pengantar mengenai ilmu secara sistematis dan sederhana, ilmu Tauhid secara mendalam, dan rahasia-rahasia ibadah lengkap dengan sudut pandang fiqih.
· Rubu al-Adat, membicarakan mengenai adab-adab sehari-hari sampai kepada adab kenabian.
· Rubu al-Muhlikat mulai menyentuh sisi spritual dengan membahas keajaiban hati, metode riyadhah (latihan spritual), serta pengkajian terhadap penyakit-penyakit spritual sesuai dengan al-Qur’an.
· Rub’ul Munjiyat membicarakan maqamat dan aḥwal para sufi sesuai dengan keterangan-keterangan yang bersifat syari dan aqli.
Adapun motivasi al-Ghazali menulis kitab Iḥya sedemikian sistematis karena dua hal, seperti yang dikatakan oleh dirinya sendiri. Pertama, sistematika dan kajian semacam itu adalah sesuatu yang dharuri (penting). Sebab ada dua jenis ilmu yang dapat mengantarkan kepada ilmu tentang akhirat yaitu muamalah dan mukasyafah.
Motivasi kedua, keinginan al-Ghazali untuk menyembuhkan “penyakit hati” dan mengajarkan ilmu fiqih kepada fuqoha’. Ini karena kebanyakan dari mereka cenderung memiliki keinginan duniawi seperti pamer dan mencari ketenaran. Dengan sistem di atas, khususnya pada rubu al-Ibadah sangat mempengaruhi dunia fiqh, lambat laun mereka dapat menyerap ajaran-ajaran spiritual.
Meskipun kitab ini merupak inti sari seluruh karya Imam Al-Ghazali kitab ini tidak lepas dari kritik para kelompok anti tasawuf menurut mereka Al-Ghazali enggan menggunakan hadits ahad dalam menetapkan akidah. Menurutnya, masalah aqidah harus didasarkan pada keyakinan dan bukan dugaan dan, sesuatu yang dhanni tidak boleh diamalkan dan dijadikan hukum. Kajian Muhammad al-Ghazali terhadap Hadits Nabi menitikberatkan pada kritik terhadap matan, dalam memaknai hadist[6]
Ditulis oleh : Muhammad Bahtiar Harsaputra
[1] Afzainizam, M. (2018). "Menyoal
Otentitas Hadis dalam Kitab Ihya Ulumuddin.". Institutional Repository
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[2] In'amul, H., & Ahmad, A. R.
(2020). Polarisasi Sufistik Dan Hadis Pada Popularitas Ihya’ ‘Ulumuddin Di
Nusantara. Riwayah : Jurnal Studi Hadis.
[3] Dr. Ngainun Na'im, M. A. (2016). the Perspective of Learning Al-Ghazali. UIN Satu Tulungagung Institutional Repository.
[4] AL-GHAZALI, P. I., & IHYA’ULUMIDDIN, D. K. A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali 1. Biografi Imam Al-Ghazali.
[5] Hadi, A. (2016). AJARAN TASAWUF Al GAZALI DALAM INTETEKTUALITAS. PROSIDING HASIL PENELITIAN DOSEN UNISKA TAHUN.
[6] Basid, A. (2017). Kritik Terhadap
Metode Muhammad Al-Ghazali dalam Memahami Hadits Nabi Muhammad Saw. KABILAH:
Journal of Social Community 2.1.
0 Comments