Ayah Bunda, Simpanlah Bapermu pada Tempatnya

cara membuat anak nyaman dengan ke-baper-an orangtuanya termasuk cita-cita menjadi hafidz atau hafidzah
ilustrasi

bersamaislam.com - Saat i'tikaf di penghujung Ramadhan kemarin, saya salut melihat seorang ibu yg masih sangat muda (kira-kira usianya 25 tahun) mau bersusah-susah untuk hadir ke i'tikaf dengan memboyong ke-3 anaknya yang semuanya masih berstatus balita, saya perkirakan anak pertamanya perempuan berusia 4 tahun, anak kedua laki-laki berusia 2,5 tahun dan yang ketiga masih bayi kira-kira usia 6 bulan.

Awalnya, bayi 6 bulan menangis karena terbangun dari tidurnya. Si ibu segera menyusui bayinya hingga tertidur lagi. Beberapa menit kemudian, kedua kakaknya menangis berteriak karena rebutan mainan.  Mendengar suara tangis kedua kakaknya (yang memang berisik banget) maka si bayi terbangun lagi dan ikut menangis juga.

Bapaknya sih ada, tapi aku perhatikan si bapak bergeming di pojokan sebelah ikhwan sambil terus tilawah. Sementara si ibu kerepotan mendiamkan ke-3 balitanya yang menangis. Aku dan beberapa ibu yang lain bergantian berusaha membantu mendiamkan dan mengalihkan perhatian kedua kakak si bayi, agar ibunya bisa menidurkan adik bayinya terlebih dahulu. Namun sia-sia karena kedua kakaknya ini tipe anak yang tidak mau dipegang oleh orang lain, harus sama ibunya.

Ya salam....

Beberapa jamaah lain berusaha untuk tidak ikut campur, tetap meneruskan tilawah, shalat, zikir dan lanjut istirahat.

Semakin lama dan semakin malam,  merasa geram juga sih, karena itu suara tangis 3 anak bersahut-sahutan masih terus terdengar. Ditambah lagi dengan aksi si kakaknya yang menangis sambil nendang-nendang tiang masjid, duhhh Gusti....  kesel ini rasanya udah ke ubun-ubun.
Apalagi lihat ibunya tuh yang tabah dan sabar bangetttt, tidak marah dan tidak menegur sedikit pun ke anaknya. Ibunya hanya diam saja sambil fokus menyusui bayinya. Paling-paling hanya memberi isyarat dengan lembut kepada anaknya agar berhenti menangis dan jangan menendang tembok.
Ckckckck.....

Akhirnya sih diem juga sebentar, tapi hebatnya kedua kakak si bayi tidak ada yang tidur sepanjang malam itikaf ini, siklusnya ya begitu saja: nangis, diem, makan camilan, minum susu, nangis lagi, main lagi, rebutan mainan, nangis lagi, minta pipis, trus pup, trus minta mandi, dan seterusnya.

Aaarghh..... beberapa ibu (termasuk saya) sudah bolak balik menegur dengan baik dan sopan agar si kakak nya diajak ke teras masjid aja kalau nangis karena suaranya kencang bangetttt mengganggu jamaah yang mau istirahat dan beribadah. Atau saran lainnya, serahkan si kakak ke abi nya. Tapi semua saran hanya ditanggapi dengan senyuman manis.

Jawabnya: tidak apa-apa Bu, biar disini saja, karena saya mau ikut shalat lail, kalau diluar saya gak bisa shalat berjamaah. Saya juga kan kepengen dapat pahala itikaf dan berburu malam Lailatul Qadar seperti ibu-ibu lainnya.

Ya salammmmm.......

cara membuat anak nyaman dengan ke-baper-an orangtuanya termasuk cita-cita menjadi hafidz atau hafidzah
ilustrasi

Melihat "semangat" si ibu ini utk ikut i'tikaf mengingatkan saya kepada beberapa kasus lain yang sering saya temui.

Baper melihat foto-foto keluarga yang ikutan i'tikaf sambil bawa bayi, kok rasanya jadi kepengen juga. Sementara kita abaikan variabel-variabel pendukung lainnya yang mungkin saja tidak kita miliki.

Baper melihat anak kecil yang Hafidz Quran, lalu ingin anaknya menjadi hafidz seperti anak ikhwah lainnya, lalu ikut menerapkan metode yg sama tanpa memilah-milah metode mana yang sesuai dengan kebutuhan anaknya.

Baper ingin puasa Ramadhan full seperti orang lain walaupun sebenarnya lemes karena lagi menyusui dan anakpun jadi sangat rewel.

Baper merasa bersalah jika terpaksa melahirkan secara Caesar.

Baper ingin anaknya juara berhitung cepat.

Baper ingin tetap mobile dan lincah seperti ibu-ibu lainnya. Sementara kita boro-boro jalan keluar, untuk mandi pun harus bergegas karena ada bayi yang menanti.

Baper ingin istrinya fulltime di rumah dan mendidik langsung anak-anaknya seperti istri ikhwah lainnya.

Baper ingin anak-anak berhenti sekolah, biar belajar di rumah atau homeschooling aja.

Baper ingin kuliah lagi seperti student-mom lainnya.

Baper melihat orang yang baru lahiran, dan ujug-ujug ingin nambah anak lagi (cung.....ini mah sayah, hehe).

Baper melihat Ummahat ikut aksi sambil bawa anak, lalu bergegas ikut aksi munasharah Palestina walaupun anak lagi demam.

Baper melihat ibu yang superMom bisa mengerjakan semua hal, lalu langsung merasa tidak becus menjadi istri karena masih harus dibantu oleh ART.

Baper ingin anaknya juga sekolah boarding seperti anak lain.

Baper melihat istri yang resign dari kantornya, lalu ujug-ujug juga pengen segera resign.

Dan sebagainya.....
Dan seterusnya.....

Ayah bunda....
Sungguh sebenarnya sebuah hal yang sangat baik jika kita cemburu dan baper kepada hal-hal yang baik. Apalagi jika kita kemudian berlomba-lomba untuk berbuat baik.

Namun ayah bunda....
Ada yang harus kita sadari, bahwa:
Kapasitas kita tidak sama.
Kondisi kita berbeda.
Lingkungan kita berbeda.

Role model keluarga kita berbeda dengan keluarga yang lain.
Pasangan hidup kita berbeda dengan pasangan hidup teman kita.
Kondisi keuangan kita berbeda dengan keluarga lain.
Dan sangat banyak lagi perbedaan nya yang harus kita sadari betul agar jangan sampai baper berkepanjangan.

Jika memang kondisimu saat ini belum memungkinkan untuk ikut itikaf, maka kenapa harus galau?
Toh kita semua tahu bahwa itikaf itu bukan perkara wajib.

Apakah ibu-ibu yang sedang diamanahi bayi dan balita aktif yang "terpaksa" tidak bisa ikut itikaf ini akan merugi karena tidak mendapat pahala itikaf dan kehilangan kesempatan bertemu Lailatul Qadar?

MasyaAllah ayah bunda,
Sungguh beruntunglah kita karena dalam agama Islam telah diatur dengan sedemikian indahnya.
Ibu yang "hanya" beribadah di rumah pun tetap bisa mendapatkan pahala yang sama besarnya dengan bapak-bapak yang beribadah di masjid.

Ataupun jika Anda adalah ibu yang dirumah tapi tidak sempat beribadah dengan maksimal karena terus ditemplokin bayi, maka bersabarlah bunda, insya Allah jika ikhlas pahalamu dalam mengasuh anak pun akan sebanding dengan kami yang (harusnya) bisa beribadah maksimal karena tidak ditemplokin bayi lagi.

Bersabarlah ayah, jangan bandingkan istrimu dengan istri temanmu yang terlihat cekatan, mobile, mandiri dan smart. Karena bisa jadi istri temanmu bisa terlihat begitu karena suaminya tidak cuek sepertimu.

Bersabarlah bunda jika kini bunda tidak bisa terlalu aktif mengisi pengajian kesana sini karena ada amanah bayi yang harus diprioritaskan saat ini. InsyaAllah ini tidak akan lama, akan ada masanya nanti bunda kembali bisa mobile lagi.

Bersabarlah ayah bunda, jika Ananda belum hafidz/hafizah seperti anak-anak teman anda lainnya.
Jika Ananda tidak cepat dalam berhitung seperti anak-anak seusianya.
Jika Ananda "sepertinya" tidak punya keahlian apa-apa
Jika Ananda "hanyalah"seorang anak biasa.
Jika ananda tidak punya prestasi di bidang apapun.

Bersabarlah ayah bunda.
Daripada sibuk menuntut anak agar bisa ini itu, mungkin lebih baik jika kita ambil cermin besar dan mari bercermin bersama.

Yuk kita coba untuk menyimpan baper pada tempatnya.
Silahkan baper tapi jangan sampai membuat kita menjadi galau sepanjang waktu, menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna, lalu mulai menyalahkan lingkungan, anak dan suami.
Nauzubillah.

Saya sangat memahami dunia ibu-ibu itu dominan perasaan. Lihat si A baper. Lihat si B baper. Lihat si C baper juga.
Padahal si A,B dan C ternyata hidupnya tidak se-perfect yang kita pikirkan.

Tulisan ini tdk bermaksud untuk permisif terhadap kekurangan diri sendiri.
Tentu ada beberapa hal yang tidak boleh terlalu kita permisif. Misalnya:
ahh sudahlah, mungkin memang sudah nasib anakku tidak bisa menjadi hafidz.

Ahh sudahlah apa boleh buat, sudah takdirnya aku tidak punya skill apa-apa, tidak seperti ibu lainnya.

Dan sebagainya...

Ini juga tidak tepat bunda.
Silahkan bermimpi memiliki anak yang Hafidz Hafizah, silahkan bermimpi lah setinggi mungkin.

Tapi ingat: faizaa azzamta fatawakkal 'alallah.

Do your best.
Lakukan yg terbaik sesuai kapasitas mu.
Yang terbaik di keluargamu.
Belum tentu cocok dikeluarga lain.

Mari kita fastabiqul khairat.
Tapi ingatlah karena kondisi kita berbeda.
Jadi metode dan jalan yang kita tempuh tidak mesti sama.

Mari syukuri Alphard yang ada.
Karena Hi-Lux adalah anugerah...


Penulis: Popi Fadliani, M.Pd (Praktisi Parenting dan alumnus Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia)