Ternyata Prisia Nasution Pernah Jadi "Istri" Jokowi dan Berperan di Film Pembantaian PKI

Prisia Nasution ‏pengkritik Arab ternyata pernah berperan sebagai istri Jokowi dan bermain dalam film pembantaian PKI oleh TNI.
Prisia Nasution di film "Jokowi" 

bersamaislam.com Jakarta -  Seorang aktris Indonesia bernama Prisia Nasution ‏yang mengkritik muslim yang ke-arab-araban agar pindah dari Indonesia di laman Twitternya pada Sabtu (21/1) ternyata pernah berperan sebagai istri Presiden Joko Widodo bernama Iriana dalam film "Jokowi". Kiprahnya dalam film tersebut membuat karirnya di dunia  perfilman Indonesia semakin melejit. Setelah menyelesaikan film tersebut, ia langsung meraih penghargaan Festival Film Indonesia.

cuitan Prisia yang dianggap melukai ummat Islam Indonesia

Disamping itu ia juga pernah bermain dalam sebuah film yang menceritakan kisah seorang penari yang juga memuat pembantaian pendukung PKI oleh TNI. Film berjudul "penari" tersebut berkisah tentang kisah cinta sepasang muda-mudi di sebuah desa miskin Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an.

Sejumlah netizen mengungkapkan adanya adegan yang sangat vulgar karena memuat visualisasi pembantaian warga pendukung PKI oleh para aparat negara.

"Menurut saya, lebih dalam novelnya. Tapi film adaptasi kan nggak harus sama 100% dengan novelnya. Setidaknya film bisa memberikan visualisasi ketika membaca novelnya (lagi). Malah versi filmnya ini, ada adegan yang bagus menurut saya. Yaitu adegan penangkapan dan eksekusi warga Dukuh Paruk yang dianggap simpatisan PKI; bukunya bahkan tidak mendeskripsikan geger 1965 itu secara detil karena represi Orde Baru," ujar netizen bernama Ian Dzp.

"Bukan tidak mendeskripsikan tapi bagian tsb di sensor pada jaman ORBA khususnya bagian pembantaian rakyat yg dianggap ikut partai komunis," jawab Debora Angelia dikolom komentarnya.

Uniknya, penulis buku yang diangkat menjadi film tersebut yang bernama Ahmad Tohari sempat memberi apresiasi kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) karena mengizinkan peluncuran film "Sang Penari" yang diangkat novel yang ia tulis yang berjudul "Ronggeng Dukuh Paruk".

Sebelumnya ia sempat ragu karena disebabkan dalam film tersebut terdapat adegan dramatisasi politik, yaitu adegan penembakan sejumlah warga yang dianggap terlibat Gerakan 30 September (G30S/PKI). Padahal, menurutnya adegan tersebut tidak ada di dalam novel yang ia tulis.

"Ini merupakan keberanian dari sutradara untuk menampilkan adegan tersebut. Juga satu hal lagi, kok tentara (TNI) mengizinkan film ini beredar, jadi kemajuan pula yang dilakukan tentara karena membiarkan film ini lolos ke masyarakat," ujar pria yang akrab dipanggil Kang Tohari tersebut kepada Antaranews pada Senin (28/11/2011).

Karena itu, ia berterima kasih kepada kepada TNI yang membiarkan film ini lolos serta kepada sutradara yang berani mengungkap adegan pembunuhan terhadap orang yang dianggap anggota PKI.

"Itu adalah perubahan yang luar biasa, dan saya membiarkan kepada sang sutradara untuk menafsirkan novel saya untuk dijadikan film karena yang akan difilmkan adalah tafsir sutradara, bukan teks dari saya," tegasnya.