![]() |
Restoran Legoh |
bersamaislam.com - Bagi anda penikmat kuliner di Bandung, tentu penasaran dengan berbagai aneka restoran dengan ciri khas masing-masing di kota kembang tersebut. Rasanya tak puas kalau belum dicoba semuanya.
Termasuk Restoran Legoh, yang beralamat di Jalan Sultan Agung No. 9, Bandung, sempat menjadi viral karena adanya pengguna media sosial merekomendasikan menu masakan babi di restoran tersebut.
Pro kontra kemudian muncul dari masyarakat terutama kalangan muslim. Sementara dari non muslim tentu tidak menjadi masalah.
Lantas bagaimana sebenarnya?
Tim Jurnal Halal dari situs LPPOM MUI, Kamis (21/01/2016), membenarkan jika restoran Legoh memang menjual menu masakan berbahan babi. Bahkan dalam varian menu yang cukup beragam. Namun tidak dicantumkan dengan jelas kalau menu tersebut mengandung unsur babi.
Oleh karena itu yang muslim, lebih berhati-hati ya.
Berikut penjelasan lebih lengkap, dikutip dari halaman halalmui.org.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada Jumat, (15 Januari 2016) redaksi Jurnal Halal, berkesempatan mengunjungi Rumah Makan Legoh, Bandung dan diterima oleh pemilik Leon Ray Legoh didampingi oleh PR Manager, Ratri.
Dalam wawancara selama kurang lebih 45 menit, selain mendapatkan penjelasan langsung dari pemilik sekaligus pengelola, Jurnal Halal juga melakukan pemeriksaan langsung ke dapur dan fasilitas lainnya. Berikut laporan kunjungan tersebut:
Rumah makan Legoh berlokasi di Jalan Sultan Agung No. 9, berhadapan langsung dengan Sekolah Yayasan Katolik Santo Alaysius. Masih di gedung yang sama, juga terdaapat clothing distro yang menjual berbagai jenis pakaian dan aksesoris untuk pria dan wanita.
Di pagar depan resto tersebut tampak tulisan nama Jalan Sultan Agung No. 9. Tak ada papan nama Resto Legoh. Tidak ada tulisan klaim halal di resto tersebut. Tidak juga ada tulisan yang menunjukkan resto tersebut menjual makanan berasal dari babi.
Restoran Legoh didirikan pada 2005 oleh Leon Ray Legoh, pengusaha keturunan Manado yang sudah lama bermukim di Bandung. Pada awalnya, resto ini hanya berupa kedai kecil di pojokan jalan Sultan Agung, Bandung. Namun, seiring dengan perjalanannya, Legoh semakin membesar dan menjadi sebuah resto yang cukup menonjol di sepanjang Jalan Sultan Agung, Bandung.
Leon Ray Legoh, yang nama belakangnya digunakan sebagai nama resto menuturkan niat awal mendirikan kedai Legoh hanya sebagai sarana ngumpul-ngumpul dengan kawan dan kolega asal Manado yang berada di Bandung. Menu yang disajikan berupa makanan berbahan daging sapi, daging ayam, bebek, sayuran dan lain-lain. “Namun, banyak kawan-kawan yang memesan olahan dari babi, karena itu kami juga sampai sekarang menyediakan menu babi tapi bukan sebagai menu utama,” kata Leon.
Dalam pemantauan Jurnal Halal, sebagian besar pengunjung adalah warga keturunan, yang kuat dugaan merupakan orang tua murid dari sekolah katolik yang ada di seberang jalan. Ada juga perempuan berkerudung yang sedang asyik menyantap makanan bersama suaminya.
Di Resto Legoh ada dua jenis buku menu, yakni lembaran besar dan lembaran kecil. Pada daftar menu di lembaran besar terdapat daftar makanan seperti nasi goreng rica ayam, nasi goreng bebek, masakan ikan laut, aneka masakan daging sapi dan olahan daging ayam.
Daftar menu besar ini tersedia di tiap-tiap meja pengunjung. Sedangkan daftar menu kecil, khusus mencantumkan daftar menu makanan berasal dari babi. Di ujung kiri atas pada lembaran menu kecil tersebut terdapat gambar babi berwarna merah.
Menurut Leon, daftar menu kecil khusus olahan babi, hanya diberikan jika ada tamu yang menanyakan, sedangkan menu besar disediakan bagi setiap pengunjung yang datang. Leon juga menjelaskan, meski ada dua jenis olahan, berbahan daging babi dan bukan daging babi, pihaknya memisahkan tempat pengolahan, piring dan peralatan serta tempat pencuciannya.
Dengan adanya dua menu tersebut, kata Leon memang ada beberapa pengunjung yang sempat menanyakan, apakah proses pengolahan dan penyajiannya terpisah. Pengunjung yang kurang yakin dipersilahkan melihat sendiri ke dapur. Hasilnya, ada yang tetap makan di resto tersebut, ada pula yang membatalkan niat mereka untuk makan di Legoh. “Kami terbuka saja, kalau ada yang ragu-ragu dan tidak jadi makan di sini ya tidak apa-apa.”
Usai mengobrol dengan Leon dan Ratri, tim Jurnal Halal melihat-lihat kondisi dapur resto Legoh. Dapur berukuran sekitar 4 x 8 meter tersebut ramai oleh beberapa karyawan yang sedang memasak. Ada dua tungku di dapur tersebut. Tungku yang lebih besar berada di dekat pintu masuk dapur, yang menurut keterangan Leon dan Ratri, tungku tersebut selama ini digunakan untuk memasak makanan berbahan bukan babi.
Di sebelah tungku terdapat rak (berukuran besar juga), yang digunakan untuk menyimpan piring, gelas dan peralatan lain untuk sajian makanan “halal”. Adapun tungku di sebelah kanannya, merupakan tungku khusus untuk mengolah makanan berbahan babi. Tidak ada penyekat apapun antara tungku yang satu dengan tungku satunya lagi. Keduanya berada berdampingan.
Di sebelah kanan kedua tungku terdapat bak pencucian piring, gelas dan peralatan memasak, dengan dua aliran air dari keran yang berbeda. Tempat cuci untuk peralatan “halal” berada di atas, berupa semacam meja, terbuat dari batu bata berlapis semen. Sedangkan untuk peralatan non halal pencuciannya dilakukan di bawah. Tempat penyimpanan piring dan alat memasak non halal juga dilakukan di bawah, berdekatan dengan tempat pencuciannya.
Masih di arena dapur, terdapat mushola berkapasitas 2 orang. Mushola ini terlihat kumuh dengan sajadah yang kelihatannya sudah lama tak dicuci. Menurut Ratri, mushola tersebut sudah lama ada, dan diperuntukkan bagi karyawan muslim serta pengunjung resto yang hendak sholat di situ.
Mengacu pada Undang-undang Perlindungan Konsumen, sikap pengelola resto yang tak menyebutkan dengan jelas tentang menu yang disajikan, meski dengan dalih bukan menu utama, patut disesalkan.
Sebab, seperti tercantum pada Pasal 5 undang-undang tersebut, konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Konsumen juga berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa yang hendak mereka konsumsi.
Oleh karena itu, Ketua Bidang Perekonomian MUI Jawa Barat, Drs. H. Mustafa Jamaluddin, MM menegaskan bahwa keterusterangan dari pihak pengeloa resto bahwa menunya mengandung daging babi, mutlak diperlukan agar konsumen mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya atas apa yang hendak mereka konsumsi. “Konsumen muslim juga perlu diingatkan agar berhati-hati dalam memilih restoran. Sebaiknya makan di resto yang telah jelas bersertifikat halal.
Sementara itu, jika dipandang dari sudut standar halal, pengelolaan resto seperti itu tentu sangat meragukan kehalalannya. Berdasarkan panduan Sistem Jaminan Halal (SJH) untuk pengelolaan restoran yang tertuang dalam buku HAS 23103, antara lain disebutkan bahwa dapur resto harus diperuntukkan khusus untuk menghasilkan makanan halal, dan seluruh fasilitas produksi hatus bebas dari najis.
“Dengan kondisi dapur yang sama tanpa penyekat apapun, meski peralatan yang digunakan berbeda, siapa yang bisa menjamin kalau fasilitas dapur tersebut tidak terkontaminasi najis?,” kata Wakil Direktur LPPOM MUI Bidang Auditing dan SJH, Ir. Muti Arintawati, M.Si. Oleh karena itu, senada dengan MUI Jabar, Muti juga mengingatkan agar konsumen lebih berhati-hati dalam memilih restoran.
(Ahmad Yasin)
0 Comments